Pahami Manajemen Risiko agar terhindar dari Investasi Bodong

Investasi Bodong

Adiwarman A Karim  ;  Peneliti di Center for Indonesian Political Studies

(CIPS) Yogyakarta

REPUBLIKA, 18 Maret 2013

Investasi selalu mengandung risiko untung dan rugi. Perusahaan yang menjual produk investasi harus diawasi dengan ketat oleh otoritas untuk menghindari berbagai jenis penipuan. Di seluruh dunia, otoritas yang mengawasi perusahaan yang menjual produk investasi selalu mengatur paling tidak tiga aspek.

Aspek pertama, pada tataran korporasi. Aspek ini paling tidak terdiri atas tiga hal. Pertama, kecukupan modal minimum. Kedua, batasan portofolio investasi. Ketiga, pemisahan rekening perusahaan dan nasabah. Pengaturan aspek ini dimaksudkan untuk mencegah kejahatan korporasi (corporate crime).

Aspek kedua, pada tataran pengelola perusahaan. Aspek ini paling tidak terdiri atas tiga hal juga. Pertama, kompetensi manajemen berupa pengalaman dan keahlian. Kedua, integritas pengurus berupa rekam jejak yang tidak tercela. Ketiga, tata pengelolaan yang baik dan transparan. Pengaturan aspek ini dimaksudkan untuk mencegah kejahatan pimpinan perusahaan (white collar crime).

Aspek ketiga, pada tataran pelaksana lapangan perusahaan. Aspek ini terdiri atas tiga hal. Pertama, pengenalan selera risiko nasabah (risk appetite). Kedua, pengetahuan tenaga penjual akan produk investasi yang dijualnya. Ketiga, transparansi dalam menjelaskan risiko investasi. Pengaturan aspek ini dimaksudkan untuk mencegah kejahatan tenaga pelaksana (blue collar crime).

Persoalan mulai muncul ketika produk-produk investasi berkembang demikian cepat dan mencari celah-celah regulasi sehingga produk-produk tersebut tidak berada dalam yurisdiksi otoritas-otoritas yang selama ini bertugas mengawasi perusahaan yang menjual produk investasi. Contoh yang paling anyar adalah kasus investasi emas bodong.

Pada tahun lalu, Malaysia dan Singapura dikejutkan dengan skandal besar investasi emas bodong. The Gold Guarantee Malaysia (TGG-M) dan Asia Pacific Bullion yang berbasis di Singapura dikejutkan dengan kaburnya pemimpin perusahaan itu, Lee Song Teck. Geneva Singapura juga melakukan hal yang sama, pemimpinnya, Leow Wee Khong, tidak diketahui keberadaannya. Bank Sentral Singapura memasukkan tiga perusahaan itu dalam Daftar Waspada Investasi Perusahaan tidak Berizin.

Bank Sentral Malaysia melakukan hal yang sama untuk Geneva Malaysia, Pageantry Gold, Caesar Gold, Worldwide Far East, dan Bestino. Sebagai taktik pemasarannya, salah satu perusahaan itu malah mengaku model penjualan emasnya telah disetujui oleh Bank Sentral, sesuai dengan prinsip syariah dan mempunyai Dewan Pengawas Syariah, bahkan menampilkan foto mantan perdana menteri Malaysia untuk meyakinkan calon nasabahnya.

Tiga pemimpin Geneva, Marcus Yee Yuen Seng, Ng Poh Weng, dan Chin Wai Leong, disangkakan telah melakukan praktik bank gelap, pencucian uang, dan penghindaran pajak oleh Bank Sentral Malaysia. Tiga orang ini juga menjadi pemimpin Geneva Singapura.

Perusahaan-perusahaan investasi emas bodong ini bersembunyi di celah regulasi yang belum mengatur penjualan produk investasi emas berkedok penjualan emas. Mekanisme bisnis mereka adalah menjual emas dengan harga 20-25 persen di atas harga pasar. Katakan saja, harga pasar Rp 500 ribu per gram dijual Rp 600 ribu per gram. Nasabah mendapat dua hal untuk kelebihan harga itu. Pertama, nasabah dapat diskon harga 2,5 persen per bulan dari harga beli emas. Kedua, pada akhir periode kontrak, nasabah dapat jaminan pembelian kembali emas sebesar harga belinya.

Selisih harga emas itulah yang menyebabkan perusahaan sejenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai perusahaan penjual emas, tapi masuk dalam kategori perusahaan yang menjual produk investasi. Selisih harga emas itulah yang berpotensi menjadi money game atau dikenal luas sebagai sistem ponzi. 
Itu pula yang dijadikan alasan Bank Sentral Malaysia mengenakan sangkaan “penghimpunan dana masyarakat secara ilegal”. Dalam praktiknya, bahkan sebagian besar transaksi tidak terjadi penyerahan fisik emas, hanya sebagian kecil emas yang diserahkan fisiknya, atau terjadi selisih waktu antara penyerahan uang dan penyerahan fisik emas.

Model bisnis yang persis sama kemudian ditawarkan di Indonesia. Salah satu perusahaan bahkan menggunakan taktik pemasaran yang persis sama. Dengan menyalahgunakan rekomendasi Dewan Syariah Nasional MUI, yang seharusnya digunakan untuk mengurus kelengkapan izin legalitas dari otoritas yang berwenang, namun digunakan untuk kepentingan pemasaran mengelabui calon nasabah. Juga menampilkan foto ketua DPR dan ketua MUI untuk tujuan yang sama. Setelah itu, giliran Indonesia dikejutkan dengan skandal yang sama, kaburnya pemilik PT GTIS warga negara Malaysia, Michael Han Cun Ong, Edward CH Ho, sedangkan Dato Zahari Sulaiman sebagai komisarisnya.

Kesadaran otoritas keuangan akan adanya celah regulasi ini terlihat dari munculnya berbagai regulasi di beberapa negara tentang investasi emas.

  • Cina bahkan sejak 1949 melarang penjualan produk investasi emas oleh swasta, baru sejak 2002 diizinkan bertahap dengan aturan yang ketat.
  • Amerika Serikat juga telah melarang semua produk investasi emas dalam bentuk produk derivatif emas dan perak kepada investor ritel.
  • Bank Sentral India juga membuat regulasi tentang hal yang sama.
  • Otoritas Malaysia dan Singapura memasukkannya ke dalam yurisdiksi mereka sebagai kegiatan shadow banking.

Itu sebabnya, ketika GTIS meminta rekomendasi DSN MUI untuk kelengkapan dokumen mengurus legalitas izin, DSN MUI memberikan sederet ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi. Di antara yang terpenting adalah harus adanya penyerahan uang dan fisik emas secara tunai pada saat yang bersamaan.

Memahami adanya perbedaan harga pembelian emas dengan harga pasar, yang memasukkan perusahaan ini sebagai perusahaan yang menjual produk investasi, DSN MUI mengarahkan perusahaan ini mengurus legalitas izinnya ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). OJK tidak menjadi pilihan karena yurisdiksinya tidak mencakup produk investasi berbasis komoditas.

Ada dua alasan DSN MUI mengarahkannya ke Bappebti. Pertama, UU No 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Ber jangka Komoditas telah mengakomodasi produk syariah. Kedua, DSN MUI telah bekerja sama dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk produk syariah berdasarkan Fatwa DSN No 82 Tahun 2011. Hal ini sangat penting karena model bisnis seperti yang ditawarkan GTIS ini memang belum dikenal dalam yurisdiksi Bappebti, BBJ, dan berbeda dengan yang digariskan dalam Fatwa DSN No 82.

GTIS bermain di celah regulasi yang ada. Tidak masuk yurisdiksi Bank Indonesia, OJK, maupun Bappebti. Yurisdiksi penjualan fisik emas juga tidak karena adanya perbedaan harga beli emas dengan harga pasar, ada diskon bulanan, kontrak, dan buy back guarantee.

DSN MUI jelas bukan otoritas yang memiliki yurisdiksi. DSN MUI diberi wewenang oleh UU Perseroan Terbatas untuk memberikan rekomendasi syariah yang diperlukan dalam mengurus izin usaha bagi perusahaan yang akan menawarkan produk berbasis syariah.

Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengatur mikro-prudensial, khususnya bidang perbankan, memang tidak memiliki wewenang untuk mengatur perusahaan nonbank seperti GTIS. Namun, bila GTIS melakukan kegiatan shadow banking, tentu masuk dalam ranah BI. Sebagai otoritas makroprudensial yang mencakup otoritas moneter dan sistem pembayaran, jelas berkepentingan dengan cadangan emas, devisa, dan tentunya perdagangan emas serta valas.

——————————————-=——————————————

Mitigasi Risiko Investasi Bodong

Paul Sutaryono ;  Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI &
Anggota Pengurus Yayasan Bina Swadaya

KORAN SINDO, 19 Maret 2013 

Investasi bodong bagai arus banjir ibukota yang sulit dibendung. Setelah kasus Koperasi Langit Biru yang mencuat di permukaan pada akhir Juli 2012, kini meledak kasus penipuan dengan investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).

Investasi bodong bagai arus banjir ibukota yang sulit dibendung. Setelah kasus Koperasi Langit Biru yang mencuat di permukaan pada akhir Juli 2012, kini meledak kasus penipuan dengan investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).

Bagaimana melakukan mitigasi risiko investasi bodong?

Penipuan demi penipuan berkedok investasi amat manis seolah tiada putus. Coba tengok ke belakang sejenak.

  • Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), investasi keuangan dengan kerugian Rp800 miliar pada 2002,
  • Adess Sumber Hidup Dinamika (investasi peternakan itik, Rp200 miliar, 2003),
  • Medical (multilevel marketing/MLM, Rp50 miliar, 2004),
    Berlian Artha Sejahtera (arisan berantai, Rp200 miliar, 2005),
  • Futurista International Paradana (MLM, puluhan miliar rupiah, 2005),
  • Platinum Invesment (valas, Rp500 miliar, 2005),
  • Interbanking Bisnis Terencana (penyertaan modal, Rp42 miliar, 2006),
  • Mitra Wira Usaha Mandiri (MLM, puluhan miliar rupiah, 2006),
  • Java Lintas Niaga (MLM, Rp70 miliar, 2006),
  • Wahyu Sejahtera Mandiri (MLM, Rp30 miliar, 2006). Disusul
  • Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp3,5 triliun, 2007),
    Gama Smart Karya Utama (valas, Rp12 triliun, 2007),
  • Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp2,1 triliun, 2007),
  • PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp390 miliar, 2012),
  • Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp6 triliun, 2012) dan
  • PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Harian Kontan, 25 Juli 2012).

Pertanyaan nakalnya, mengapa penipuan model investasi semacam itu begitu menarik sehingga laku keras? Sudah barang tentu karena tawarannya begitu gurih melebihi madu asli.

Bagaimana kiatnya (tipuannya)?

GTIS membuat tawaran sedemikian rupa sehingga menawan hati calon investor dengan imbal hasil (yield) minimal 2% per bulan atau 24% per tahun. Bagaimana tidak menarik? Imbal hasil tersebut jauh lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank yang saat ini hanya sekitar 4–5% per tahun. Tawaran semacam inilah yang membuat calon investor mabuk kepayang untuk langsung menanamkan modal sekian puluh atau ratus juta atau bahkan miliar dalam investasi. Hebatnya lagi, investasi abal-abal itu terkadang berkedok koperasi.

Mitigasi Risiko

Lantas, bagaimana melakukan mitigasi risiko terhadap aneka investasi bodong yang berselimut investasi emas atau syariah supaya laris manis?

Pertama, menyatukan izin operasional.

Selama ini, izin investasi dapat diterbitkan oleh berbagai instansi. Katakanlah, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam- LK) yang sudah melebur ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif 1 Januari 2013,

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan instansi lainnya. Oleh karena itu, kini sudah saatnya menyatukan penerbitan izin operasional menjadi satu atap. Sudah seharusnya semua izin investasi apa pun bentuknya menjadi kewenangan OJK untuk menerbitkannya. Penyatuan izin operasional itu bertujuan untuk memudahkan pengawasan lebih lanjut.

Mengapa harus OJK? Karena salah satu fungsi utama OJK adalah melakukan pengawasan dan sekaligus menekan serendah mungkin tindak kriminal yang bersifat keuangan (financial crime).

Kedua, memperkukuh pengawasan.

Tentu saja hal ini menjadi tantangan berat bagi OJK untuk lebih memperkuat fungsi pengawasan ke depan. Mengapa demikian?

Karena penipuan berkedok investasi manis itu bagai maling di siang bolong yang menyaru sebagai orang baik-baik, sehingga (calon) investor tidak cukup waspada. Pertanyaan lanjutannya, mengapa investasi imitasi terus bernyanyi dengan lagu-lagu nan merdu sehingga mampu meninabobokan (calon) investor hijau alias junior dalam pengalaman dan bahkan investor senior?

Salah satu alasannya karena masyarakat kita (investor) tidak mau banyak belajar. Tetapi maunya hanya mereguk madu alias profit setinggi langit tanpa memikirkan racun alias potensi risiko. Bahkan mereka lupa rumus bahwa imbal hasil tinggi pasti pula menyimpan risiko tinggi (high risk high return).

Kementerian Koperasi dan UKM pun sudah sepatutnya terus semakin membuka telinga lebar-lebar dan mempertajam daya penciuman, agar mampu mencium aneka potensi risiko dari investasi yang bertopi koperasi.

Ingat bahwa koperasi simpan pinjam dapat menghimpun dana masyarakat. Banyak koperasi di Kalimantan sudah sanggup menjadi sokoguru ekonomi rakyat di sana dan bahkan mampu menghimpun dana pihak ketiga triliunan. Aktivitas koperasi yang begitu tinggi dengan syarat pinjaman yang relatif lebih mudah menjadi pesaing berat bagi bank nasional dengan syarat pinjaman yang rumit.

Sungguh ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank nasional dalam menjalankan program inklusi keuangan (financial inclusion). Agaknya pemerintah menyadari keterbatasan bank nasional dalam mendorong masyarakat luas untuk menikmati layanan operasional perbankan. Oleh karena itu, inklusi keuangan juga diupayakan untuk dapat dilakukan oleh koperasi dan lembaga keuangan mikro (LKM).

Untuk lebih mendorong LKM supaya makin maju dan berkembang, pemerintah telah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) LKM yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Ketiga, edukasi publik.

Data menunjukkan bahwa anggota koperasi naik 20,68% dari 24.135.868 orang pada 1993 menjadi 29.124.067 orang pada 2010. Hal itu menegaskan bahwa koperasi memiliki potensi tinggi untuk menjadi ujung tombak inklusi keuangan.

Namun, jangan melupakan untuk melakukan edukasi publik. Sejatinya, edukasi publik menjadi kunci untuk mitigasi risiko investasi bodong. Lalu siapa yang layak untuk memberikan edukasi publik? Bank Indonesia (BI), OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Koperasi dan UKM serta perhimpunan bank nasional (Perbanas, Himbara, Asbanda, Perbarindo) dituntut untuk melaksanakan edukasi publik.

Publik sebagai calon nasabah atau investor wajib dibekali dengan pengetahuan praktis mengenai seluk-beluk investasi dalam aneka bidang seperti koperasi simpan pinjam, emas, syariah, perdagangan saham, arisan berantai. Selain itu, publik pun patut dibekali dengan manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional perbankan dan non perbankan secara sederhana.

Dengan demikian, publik sebelum melakukan investasi sudah lebih dahulu mengerti dan memahami potensi risiko yang bakal dihadapi. Dengan bahasa lebih bening, publik tidak hanya mempertimbangkan madu alias manfaat investasi yang selalu tampak menarik. Sesungguhnya, investasi itu bagaikan sebuah koin yang bermuka dua yakni madu dan racun.

Nah, untuk itu, publik sebagai (calon) nasabah atau investor wajib menguasai dua muka sekaligus. Ini mutlak. Alhasil, penipuan bertopeng investasi emas, syariah atau komoditas cantik lainnya dapat ditekan sedemikian rupa. Investor pun bakal meraih keuntungan yang legit bukan justru buntung. ● 

—————————————+——————————————————

Waspadai Serigala Berbulu Domba

Susidarto  ;  Praktisi Perbankan

REPUBLIKA, 20 Maret 2013

Belakangan ini, berbagai lembaga penipu berkedok lembaga resmi berkelindan di sekitar kita, menebar teror yang bertajuk investasi bodong atau investasi abal-abal. Mereka kelihatannya merupakan lembaga resmi berbentuk koperasi, lembaga investasi emas, multi level marketing (MLM), bahkan diantaranya berlabel keagamaan (syariah).

Kelihatannya, wajah mereka sangat baik (ibarat domba) dan jinak, namun sesungguhnya mereka adalah serigala, yang sangat ganas dan mampu menelan korban begitu banyaknya dalam tempo singkat. Itulah prahara investasi bodong yang tengah mendera banyak anggota masyarakat yang sudah telanjur menginvestasikan dananya dalam jumlah yang tidak sedikit.

Menurut perhitungan sementara, tidak kurang Rp 45 triliun lebih dana masyarakat investor yang sudah terbenam dan hilang sia-sia dalam berbagai bentuk investasi bodong. Angka nominal yang sangat besar harus hilang tidak tahu rimbanya karena kebodohan investor yang bertemu dengan kecerdasan dari si penipu. Keduanya terperangkap dalam dealtransaksi investasi abal-abal.

Waspada

Untuk menghadapi persoalan ini, satu hal yang perlu dilakukan oleh calon investor adalah waspada. Maklum, para penipu atau penilep dana investor ini bermain sangat cantik dan cerdas. Mereka memanfaatkan celah (lope hole) kelemahan para investor (pemula) yang dengan mudahnya percaya pada beberapa hal yang bisa menarik hatinya.

Kalau dicermati bersama, ada beberapa tipikal atau ciri-ciri yang senantiasa dimunculkan oleh para pengelola investasi bodong ini. Beberapa di antaranya dengan

  • iming-iming imbal hasil tinggi,
  • memakai agen yang merupakan orang dekat kita. Ciri lainnya adalah
  • jaminan bahwa investasi tidak memiliki risiko investasi,
  • menghasilkan pendapatan tetap,
  • pemberian bonus dan cash back yang sangat besar bagi konsumen yang bisa merekrut konsumen baru, serta
  • penyalahgunaan atau pemanfaatan testimoni dari para pemuka masyarakat (agama). Selain itu, mereka juga
  • menawarkan janji kemudahan untuk menarik kembali aset yang diinvestasikan.

Selain itu, investasi bodong juga

  • menawarkan jaminan pembelian kembali tanpa pengurangan nilai (buy back guarantee).

Oleh sebab itu, calon investor agar senantiasa waspada dan menghindari penawaran investasi di perusahaan yang tidak diawasi dan diatur regulasinya oleh otoritas yang berwenang.

Beberapa langkah di bawah ini perlu dilakukan calon investor yang ingin membenamkan dananya dalam berbagai bentuk investasi.

Pertama, lihat reputasi dari lembaga yang menawarkan investasi.

Terlebih dahulu, perlu Anda cek seberapa lama investasi tersebut dan siapa yang menjalankannya. Jika selama ini perusahaan yang menawarkan dan menjalankan kegiatan investasi itu tidak pernah mengalami masalah, dalam artian track record-nya bagus, ini akan menjadi sebuah referensi yang baik. Pilihlah perusahaan yang benar-benar bonafit dan memiliki reputasi cemerlang di bidang yang ditawarkan.

Kedua adalah referensi.

Sebelum Anda menginvestasikan dana-dana menganggur, ada baiknya mencari tahu mengenai sepak terjang perusahaan yang menawarkan beserta dengan peng urus/manejemennya. Tanyakan kepada berbagai sumber atau investor lain yang pernah ikut berinvestasi di tawaran investasi tersebut.  Bagaimana kesan mereka dan seperti apa hasil investasinya? Bagaimana pengalaman investor lain yang telah membenamkan dananya dalam bentuk investasi yang sama? Kalau perlu, lihat website milik Bapepam-LK, BI, Bapekti, dan sejenisnya untuk melihat keabsahan usahanya.

Ketiga adalah menimbang soal risk and return.

Kaji secara mendalam, apakah tawaran investasi ini cukup masuk akal. Ada tidak bentuk investasi yang mampu menghasilkan return yang demikian besar dalam tempo singkat. Pikirkan, jika return yang diberikan terlalu besar, mengapa si pemilik harus mengajak Anda ikut berinvestasi di sana? Logikanya, mereka akan menggunakan uang atau dana sendiri untuk berinvestasi di bidang yang menawarkan keuntungan tinggi. Jika hasil investasinya luar biasa, tentu mereka merasa lebih baik menikmatinya sendiri.

Keempat adalah menanyakan izin legalitas dari regulator.

Langkah ini bisa dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada pihak yang mengajak investasi dengan melihat bukti fisik legalitas usaha. Dan juga, mencari tahu dari internet mengenai legalitas usaha regulator yang membawahinya. Baik Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK) maupun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapebti) ataupun Kementerian/Dinas Koperasi dan UKM. Anda harus memastikan bahwa usaha mereka memiliki izin resmi dari regulator yang menaunginya.

Kelima, melakukan refleksi.

Tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah Anda membutuhkan investasi tersebut dan apakah investasi yang ditawarkan cocok untuk Anda? Di sini, Anda harus membuat profil risiko dari diri Anda sendiri. Apakah investasi yang ditawarkan cocok untuk diri Anda?

Investor konvensional tentu tidak akan memilih investasi yang menjanjikan return tinggi tetapi membuat jantungan. Investor konservatif akan memilih investasi yang aman tenteram dengan hasil yang tidak begitu tinggi. Sementara, investor kategori risk taker akan memilih reinvestasi risiko tinggi, namun memiliki return yang tinggi pula. ●

——————————————————————————+———————-

 

Investasi Bodong dan OJK

Arfanda Siregar  ;  Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan

KORAN SINDO, 01 Maret 2013

Korban investasi bodong terus berjatuhan sepanjang tahun. Rakyat yang tak melek finansial selalu menjadi korban para penipu berkedok pengusaha sukses yang mampu menularkan kekayaannya dalam sekejap tanpa kerja keras kepada mereka yang bermodal.

Keinginan cepat kaya tanpa kerja keras dan ketidakpahaman analisis keuangan menjadi maut yang mengantar investor menjadi pesakitan. Kemanakah peran OJK (otoritas jasa keuangan) melindungi rakyat dari godaan para pengusaha yang hanya menawarkan mimpi? Bukan tidak memiliki lembaga yang berfungsi melindungi rakyat dari tipu pengusaha bodong yang hobi mengeruk kantong rakyat yang cekak.

UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, jelas-jelas menugaskan OJK menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, menggantikan tugas pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Konstitusi juga mengamanahkan OJK menjadi lembaga resmi yang bertugas melindungi nasabah melalui tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pembelaan hukum, serta pelayanan pengaduan konsumen.

Agar sukses melaksanakan tugasnya, OJK diberi wewenang luas.

Pertama, memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.

Kedua, meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apa bila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat.

Ketiga, tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangun dangan di sektor jasa keuangan.

Jika OJK bergerak cepat meng eksekusi tugas yang telah dibebankan kepadanya, meski secara resmi baru mulai bertugas awal tahun 2013 lalu, korban kasus penipuan mengatasnamakan investasi emas oleh Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), seperti yang terjadi baru-baru ini dapat diminimalisasi. Bayangkan saja, GTIS telah beroperasi beberapa tahun dan diperkirakan meng umpulkan dana masyarakat mencapai Rp13,2 triliun lewat penjualan 2,2 ton emas yang fiktif, kok tak mampu dideteksi OJK?

Sekarang pendiri sekaligus Direktur Utama GTIS Michael Ong kabur ke luar negeri meninggalkan ribuan nasabahnya di berbagai kota di Indonesia dalam keadaan panik dan kebingungan. Ada kesan OJK tidak tanggap memetakan persoalan krusial yang harus segera ditanganinya sebagai lembaga yang bertugas melindungi nasabah dari berbagai penipuan berkedok investasi. Bukan tak punya data atas berbagai keluhan nasabah atas berbagai sepak terjang pengusaha bodong yang menawarkan investasi fiktif.

Data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) pada tahun 2010 mencatat terjadi 194 kasus pengaduan konsumen terkait layanan yang diterimanya dari lembaga jasa keuangan. Lalu tahun 2011 meningkat menjadi 240 kasus dan pada 2012 kasus mencapai 182 kasus. Dari semua kasus aduan itu sebagian besar menyangkut layanan perbankan dan diikuti layanan perusahaan pembiayaan.

Selain itu, pengaduan konsumen industri keuangan menurut data Bank Indonesia sepanjang tahun 2012 juga cukup banyak komplain dari masyarakat terhadap jasa investasi yang diikutinya. Di sektor perbankan terdapat 417 pengaduan dan di pasar modal 157 pengaduan. Lalu disusul diperasuransian 42 pengaduan, dana pensiun 15 pengaduan, dan pembiayaan serta penjaminan 31 pengaduan.

Dengan membludaknya kom plain dan protes para nasabah kepada lembaga-lembaga tersebut, seharusnya mem buat OJK segera berkonsentrasi melakukan tindakan sigap melindungi para nasabah. Ada kesan OJK baru bergerak menunggu terjadinya kasus besar pecah lebih dahulu. OJK ibarat mobil pemadam kebakaran yang baru tiba di lokasi ketika harta benda korban hampir habis dilalap api.

Harus Ada Langkah Sigap OJK

Saat ini di depan mata kita ter dapat 660.000 perusahaan investasi yang berbentuk shadow banking menyerupai bank, tapi bukan lembaga perbankan dan itu lepas dari pengamatan OJK. Shadow banking adalah kegiatan perbankan yang dilakukan lembaga keuangan nonbank, seperti penyaluran kredit. Shadow banking beroperasi menghimpun dana dan menyalurkannya berupa kredit atau investasi.

Bunga pinjaman yang diberikan terbilang tinggi. Berdasarkan riset sebuah majalah bisnis, selama rentang waktu 2002 hingga 2012 sedikitnya sudah ada 70 shadow banking yang mati lantaran dihempas krisis. Selain itu, di beberapa daerah hidup lintah darat yang berkedok koperasi. Awalnya berupa koperasi simpan pinjam, tapi jika melihat bunga dan penalti (akibat keterlambatan pembayaran) lebih cocok disebut lintah darat. Belum lagi di beberapa daerah juga muncul fenomena seperti arisan sepeda motor atau arisan haji yang berpeluang menjadi pe nipuan.

Jika OJK masih bertindak seperti sekarang terhadap banyaknya potensi kasus penipuan yang mengatasnamakan bisnis in vestasi tersebut, kita hanya tinggal menunggu ledakan yang dahsyat kapan para nasabah sadar telah tertipu. OJK tak bisa berdalih sedang melakukan konsolidasi dan membuat perencanaan sebagai langkah awal kerja mereka.

Bagaimanapun OJK telah di bentuk dan konstitusi mengamanah kannya menjadi institusi yang bertugas melindungi konsumen dari godaan para penipu berkedok pengusaha. 

Pertama, merumuskan skema perlindungan terhadap seluruh nasabah industri keuangan. Aturan main yang menjamin perlindungan bagi nasabah menjadi krusial dirumuskan. Maklum selama ini nasabah selalu menjadi korban atas berbagai kekisruhan dan penipuan di pasar keuangan.

Kedua, OJK harus proaktif menelisik produk-produk investasi yang beredar di pasar untuk diidentifikasi keabsahannya dalam melindungi kepentingan pemilik dana kemudian secepatnya merilis hasil kerja, baik melalui sosialisasi dan edukasi kepada semua nasabah yang terlibat bisnis investasi.
Penelisikan produk investasi bisa dilakukan OJK karena dalam bertugas bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Atas Transaksi Keuangan). Apa susahnya mendeteksi perubahan rekening perusahaan yang menawarkan investasi kepada nasabah bagi OJK.

Ketiga, OJK harus berani menutup dan menuntut berbagai lembaga yang terindikasi memperjualkan mimpi kepada nasabah. Jangan selama ini ada kesan pemerintah membiarkan nasabah terlebih dulu merasa tertipu baru mengambil tindakan.

Keberadaan OJK harus membawa kondusivitas investasi di negeri ini. Menurut perkiraan, sepanjang tahun 2002 hingga 2012 dana masyarakat yang hilang akibat investasi ilegal mencapai Rp35 triliun.

Seandainya dana sebesar tersebut dimanfaatkan kepada usaha produktif yang legal dapat membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan OJK harus bermanfaat bagi masyarakat. Jangan hanya sekadar menjadi lembaga medioker yang keberadaannya hanya menyobek anggaran negara. Semoga! ●